Review film Momentum
Review Film Momentum
Perselisihan yang terjadi dalam sekelompok perampok bank ketika menjalankan aksinya membuat seorang anggota kelompok tersebut tewas dan seorang lagi tersingkap topengnya. Sosok dibalik topeng tersebut, yang ternyata adalah seorang wanita, segera terekam oleh kamera keamanan dalam bank dan terlihat oleh beberapa sandera. Kabur membawa hasil rampokannya, anggota kelompok yang tersisa memutuskan untuk berpencar dan menunggu situasi aman atau mereda sebelum membagi rata hasil rampokan itu. Si wanita, yang disebut Alex (Olga Kurylenko), mendapatkan sebuah tawaran pekerjaan lagi oleh salah satu rekannya.
Tanpa disangka, alex justru menyaksikan rekannya terbunuh oleh sebuah tim pembunuh profesional yang dipimpin oleh seseorang bernama Mr. Washington (James Purefoy) di hotel tempat mereka menginap. Alex pun mengetahui bahwa para pembunuh rekannya itu mengincar sebuah drive yang ada di antara sekantung berlian yang telah dirampoknya. Gagal membunuh Mr. Washington pada kesempatan pertama, Alex justru menjadi buruan bagi para pembunuh tersebut.
Aksi pelarian diri Alex berakhir saat ia berhasil menyelamatkan istri dan anak rekannya yang terbunuh di hotel. Ia pun bertekad untuk menghabisi Mr. Washington dan tim ‘pembersih’nya sekaligus mencari tahu apa isi drive yang menjadi bahan buruan mereka sebenarnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘momentum’ berarti saat yang tepat atau kesempatan. Pembaca yang budiman, pengertian inlah yang akan saya gunakan untuk mengulas film garapan sutradara Stephen S. Companelli ini.
Menyimak voice over suara Morgan Freeman yang berperan sebagai Senator di bagian awal cerita, sebagian besar dari penonton mungkin akan bertanya-tanya apa hubungan antara kalimat yang diucapkan Senator tersebut dengan adegan perampokan bank yang menyusul kemudian. Jika memang demikian, sebaiknya jangan terburu-buru karena Companelli menyuguhkan adegan-adegan yang mendebarkan dan menarik tidak lama setelahnya. Peralihan antaradegan yang penuh kejutan adalah kekuatan utama dari film ini.
Ketika Alex mendatangi kamar rekannya di hotel tempat persembunyian sementara mereka, dengan hanya mengenakan lingerie terbalut kimono tidur, kita merasa relaks dan membayangkan adegan drama yang cukup lama pascaketegangan perampokan di bank beberapa saat sebelumnya. Namun, tim pembersih yang dipimpin Mr. Washington menamparkan ketegangan kembali dengan mendobrak masuk ke kamar hotel dan membunuh rekan Alex. Jantung kita diminta terus berdebar menyaksikan Alex dikejar-kejar oleh tim pembunuh tersebut.
Saya sempat teringat sekuel Tokyo Drift kala menyaksikan alex memacu mobilnya menuruni areal parkir dengan cara mundur untuk melarikan diri dari kejaran para pembunuh. Sementara itu, sosok Alex dan karakternya sendiri masih sangat misterius bagi kita sampai saat ia diinterogasi setelah tertangkap oleh Mr. Washington di sebuah gudang. Di sinilah penonton baru mendapat kejelasan tentang identitas wanita yang menjadi tokoh utama cerita film ini. Jati diri yang menjelaskan kecerdikan dan ketangkasannya dalam bela diri dan penggunaan senjata api.
Tidak sampai di ditu, Companelli menyempurnakan “Momentum”-nya dengan pemberian porsi yang pas untuk menyambung kisah pelarian Alex dan konspirasi politik dalam cerita film ini. Tidak adanya peran satuan keamanan yang terlibat—kecuali sesaat kala mengejar mobil Alex yang tanpa sengaja menerobos lampu merah—membuat kita harus fokus pada karakter Alex dan terjebak dalam usahanya melarikan diri dari sekelompok pembunuh bayaran hingga dikejutkan oleh identitas sebenarnya dari Alexis Faraday. Kemudian, mau tidak mau, kita mesti memikirkan kembali ucapan Senator di bagian awal film, “Sebagai orang yang berpengaruh, kita akan memperbaiki nasib negara kita. Dan kau akan mendapatkan perangmu. Dan aku akan mendapatkan kantorku.”
Alexis Faraday, yang dalam cerita ini sempat disebut sebagai mitos dalam dunia intelijen karena sepak terjangnya sebagai agen ganda bagi CIA dan Mossad, digambarkan sebagai sosok misterius dan penuh kejutan. Bukan sembarang perampok, bukan sembarang wanita, dan bukan sembarang agen. Alex yang pada akhirnya mengetahui komspirasi antara Senator dengan seseorang bernama Doug Mcarthur, menghubungi Mcarthur dan menyatakan sebuah tantangan perang. Saya sempat berasumsi masih akan ada sekuel lanjutan film Momentum ini. Tokoh Alex sendiri boleh dikatakan sebagai senjata Companelli untuk membawa penonton menikmati alur dan jalan cerita film. Companelli pun sukses menampilkan kejutan-kejutan yang merajut kerumitan bagian-bagian ceritanya.
“Kau harus cinta perdamaian, sebagai alat untuk peperangan.”
(Nietzsche)
Pembaca yang budiman, saya selipkan ungkapan dari filsuf asal Jerman Frederick W. Nietzsche tersebut menjelang akhir tulisan ini dengan harapan dapat memberikan sedikit titik terang bagi kita untuk memahami sedikit lebih dalam kandungan film Momentum ini. Tidak perlu berpikir layaknya seorang ahli filsafat, cukuplah kita tautkan pemikiran Nietzsche di atas dengan ucapan Senator yang juga telah saya kutip sebelumnya.
Ketika Senator mengatakan hendak memperbaiki nasib negara ini (Amerika Serikat, mungkin), pemikiran yang diusung oleh Nietzsche itu menelusup dalam wujud sebuah rencana. Rencana yang besar, namun samar. Seperti itulah kira-kira film Momentum mengajak ikta untuk terbuai dalam konflik dan aksi kejar-mengejar antara Alexis Faraday dan Mr. Washington. Seperti itu pulalah Momentum menunjukkan kepada kita bagaimana sebuah peristiwa yang tampak jelas dan menggemparkan layaknya perampokan bank dan akibat yang ditimbulkannya bagi segelintir orang dapat menjadi pengalih perhatian dari hal-hal yang lebih berbahaya karena bersifat lebih luas dan dapat menimbulkan akibat yang lebih besar bagi banyak orang meskipun samar.
Beberapa kekurangan dari sisi sinematografi yang ada dalam film ini, misalnya penampilan Alex dengan rambutnya yang indah, dan hampir selalu tampak indah sepanjang film, separah dan sebabak-belur bagaimanapun dirinya dalam pelarian, pengejaran, atau pertarungan, tidak serta-merta dapat jadi alasan untuk mengatakan film ini tidak layak ditonton. Sekali lagi, Stephen Companelli sukses menempatkan sebagian besar visualisasi skenario garapan Adam Marcus dan Debra Sulivan ini dalam porsi dan timing yang pas, sesuai dengan judul filmnya, Momentum.
Selamat menikmati.
Perselisihan yang terjadi dalam sekelompok perampok bank ketika menjalankan aksinya membuat seorang anggota kelompok tersebut tewas dan seorang lagi tersingkap topengnya. Sosok dibalik topeng tersebut, yang ternyata adalah seorang wanita, segera terekam oleh kamera keamanan dalam bank dan terlihat oleh beberapa sandera. Kabur membawa hasil rampokannya, anggota kelompok yang tersisa memutuskan untuk berpencar dan menunggu situasi aman atau mereda sebelum membagi rata hasil rampokan itu. Si wanita, yang disebut Alex (Olga Kurylenko), mendapatkan sebuah tawaran pekerjaan lagi oleh salah satu rekannya.
Tanpa disangka, alex justru menyaksikan rekannya terbunuh oleh sebuah tim pembunuh profesional yang dipimpin oleh seseorang bernama Mr. Washington (James Purefoy) di hotel tempat mereka menginap. Alex pun mengetahui bahwa para pembunuh rekannya itu mengincar sebuah drive yang ada di antara sekantung berlian yang telah dirampoknya. Gagal membunuh Mr. Washington pada kesempatan pertama, Alex justru menjadi buruan bagi para pembunuh tersebut.
Aksi pelarian diri Alex berakhir saat ia berhasil menyelamatkan istri dan anak rekannya yang terbunuh di hotel. Ia pun bertekad untuk menghabisi Mr. Washington dan tim ‘pembersih’nya sekaligus mencari tahu apa isi drive yang menjadi bahan buruan mereka sebenarnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘momentum’ berarti saat yang tepat atau kesempatan. Pembaca yang budiman, pengertian inlah yang akan saya gunakan untuk mengulas film garapan sutradara Stephen S. Companelli ini.
Menyimak voice over suara Morgan Freeman yang berperan sebagai Senator di bagian awal cerita, sebagian besar dari penonton mungkin akan bertanya-tanya apa hubungan antara kalimat yang diucapkan Senator tersebut dengan adegan perampokan bank yang menyusul kemudian. Jika memang demikian, sebaiknya jangan terburu-buru karena Companelli menyuguhkan adegan-adegan yang mendebarkan dan menarik tidak lama setelahnya. Peralihan antaradegan yang penuh kejutan adalah kekuatan utama dari film ini.
Ketika Alex mendatangi kamar rekannya di hotel tempat persembunyian sementara mereka, dengan hanya mengenakan lingerie terbalut kimono tidur, kita merasa relaks dan membayangkan adegan drama yang cukup lama pascaketegangan perampokan di bank beberapa saat sebelumnya. Namun, tim pembersih yang dipimpin Mr. Washington menamparkan ketegangan kembali dengan mendobrak masuk ke kamar hotel dan membunuh rekan Alex. Jantung kita diminta terus berdebar menyaksikan Alex dikejar-kejar oleh tim pembunuh tersebut.
Saya sempat teringat sekuel Tokyo Drift kala menyaksikan alex memacu mobilnya menuruni areal parkir dengan cara mundur untuk melarikan diri dari kejaran para pembunuh. Sementara itu, sosok Alex dan karakternya sendiri masih sangat misterius bagi kita sampai saat ia diinterogasi setelah tertangkap oleh Mr. Washington di sebuah gudang. Di sinilah penonton baru mendapat kejelasan tentang identitas wanita yang menjadi tokoh utama cerita film ini. Jati diri yang menjelaskan kecerdikan dan ketangkasannya dalam bela diri dan penggunaan senjata api.
Tidak sampai di ditu, Companelli menyempurnakan “Momentum”-nya dengan pemberian porsi yang pas untuk menyambung kisah pelarian Alex dan konspirasi politik dalam cerita film ini. Tidak adanya peran satuan keamanan yang terlibat—kecuali sesaat kala mengejar mobil Alex yang tanpa sengaja menerobos lampu merah—membuat kita harus fokus pada karakter Alex dan terjebak dalam usahanya melarikan diri dari sekelompok pembunuh bayaran hingga dikejutkan oleh identitas sebenarnya dari Alexis Faraday. Kemudian, mau tidak mau, kita mesti memikirkan kembali ucapan Senator di bagian awal film, “Sebagai orang yang berpengaruh, kita akan memperbaiki nasib negara kita. Dan kau akan mendapatkan perangmu. Dan aku akan mendapatkan kantorku.”
Alexis Faraday, yang dalam cerita ini sempat disebut sebagai mitos dalam dunia intelijen karena sepak terjangnya sebagai agen ganda bagi CIA dan Mossad, digambarkan sebagai sosok misterius dan penuh kejutan. Bukan sembarang perampok, bukan sembarang wanita, dan bukan sembarang agen. Alex yang pada akhirnya mengetahui komspirasi antara Senator dengan seseorang bernama Doug Mcarthur, menghubungi Mcarthur dan menyatakan sebuah tantangan perang. Saya sempat berasumsi masih akan ada sekuel lanjutan film Momentum ini. Tokoh Alex sendiri boleh dikatakan sebagai senjata Companelli untuk membawa penonton menikmati alur dan jalan cerita film. Companelli pun sukses menampilkan kejutan-kejutan yang merajut kerumitan bagian-bagian ceritanya.
“Kau harus cinta perdamaian, sebagai alat untuk peperangan.”
(Nietzsche)
Pembaca yang budiman, saya selipkan ungkapan dari filsuf asal Jerman Frederick W. Nietzsche tersebut menjelang akhir tulisan ini dengan harapan dapat memberikan sedikit titik terang bagi kita untuk memahami sedikit lebih dalam kandungan film Momentum ini. Tidak perlu berpikir layaknya seorang ahli filsafat, cukuplah kita tautkan pemikiran Nietzsche di atas dengan ucapan Senator yang juga telah saya kutip sebelumnya.
Ketika Senator mengatakan hendak memperbaiki nasib negara ini (Amerika Serikat, mungkin), pemikiran yang diusung oleh Nietzsche itu menelusup dalam wujud sebuah rencana. Rencana yang besar, namun samar. Seperti itulah kira-kira film Momentum mengajak ikta untuk terbuai dalam konflik dan aksi kejar-mengejar antara Alexis Faraday dan Mr. Washington. Seperti itu pulalah Momentum menunjukkan kepada kita bagaimana sebuah peristiwa yang tampak jelas dan menggemparkan layaknya perampokan bank dan akibat yang ditimbulkannya bagi segelintir orang dapat menjadi pengalih perhatian dari hal-hal yang lebih berbahaya karena bersifat lebih luas dan dapat menimbulkan akibat yang lebih besar bagi banyak orang meskipun samar.
Beberapa kekurangan dari sisi sinematografi yang ada dalam film ini, misalnya penampilan Alex dengan rambutnya yang indah, dan hampir selalu tampak indah sepanjang film, separah dan sebabak-belur bagaimanapun dirinya dalam pelarian, pengejaran, atau pertarungan, tidak serta-merta dapat jadi alasan untuk mengatakan film ini tidak layak ditonton. Sekali lagi, Stephen Companelli sukses menempatkan sebagian besar visualisasi skenario garapan Adam Marcus dan Debra Sulivan ini dalam porsi dan timing yang pas, sesuai dengan judul filmnya, Momentum.
Selamat menikmati.
Komentar
Posting Komentar